Tembagapura Daerah Penghasil Emas di Papua
Sobat petualangan emas, Tembagapura merupakan daerah penghasil emas terbesar di tanah Papua dimana terdapat perusahaan besar PT. Freeport sebagai pelaksana tugas penambangan di kota Tembagapura.
Daerah sekitar pertambangan emas Freeport kaya dengan hasil mineral emas dimana tailing yang dibuang ke sungai oleh PT. Freeport Indonesia ternyata kaya dengan kandungan emas.
Lokasi Emas di Papua
Kota Tembagapura di Papua selain menghasilkan emas juga kaya dengan mineral logam lainnya seperti tembaga, nikel, bauksit dan logam lainnya.
Tapi yang terkenal di daerah tersebut adalah daerah penghasil emas terbesar di Papua dan termasuk dalam 10 besar produksi emas di dunia.
Lokasi Emas Tembagapura
Di sepanjang sungai Aghawagon limbah material yang ikut larut ke sungai oleh pertambangan PT Freeport Indonesia digunakan untuk penambangan liar oleh masyarakat setempat dimana kandungan emas cukup banyak daripada melakukan penambangan di daerah lain.Catatan:
- Pendulangan di Sungai Aghawagon, Papua
- Sungai di daerah Tembagapura pembawa emas murni
Kawasan Mil 72 sampai dengan Mil 69 Utikini Lama, Tembagapura terdapat pendulang yang berasal dari suku Moni Ugimba dibantu dengan warga pendatang melakukan proses pendulang emas di daerah itu.
Ada empat lokasi terbesar dari tambang emas di daerah Tembagapura yaitu:
- Mil 72-74 Utikini
- Mil 69 Utekini Lama
- Kimbeli
- Branti
Suku Lokal Penguasa Daerah Tambang Emas
Untuk melakukan pendulangan warga pendatang harus izin dengan penduduk lokal yaitu suku adat setempat untuk melakukan eksplorasi penambangan.
Sebelum melakukan pendulang di daerah Tembagapura maka sobat petualangan emas harus mengantongi izin lisan dan tertulis dari suku setempat. Pada umumnya izin lisan bisa juga dilakukan dengan pendekatan dan alasan pencarian emas.
Izin Pendulangan Emas Pada Suku Asli Tembagapura
Seperti di daerah Mil 69 Utekini lama banyak lokasi tambang liar yang di dominasi dari suku disana yaitu:
- Suku Dani
- Moni utara
- Damal
Sehingga pendatang harus minta izin dulu kepada suku setempat dalam usaha penambangan emas di daerah itu.
Di daerah Kimbeli, terdapat suku lain yang menguasai daerah itu, sehingga penambang pendatang harus minta izin terlebih dahulu kepada
- Suku Damal
- Sedikit suku Moni Utara
Sedangkan di daerah Branti kebanyakan pendatang harus minta izin dahulu dalam penambangan kepada
- Suku Amungme
- Sedikit suku Moni Selatan
- suku amungme Tembagapura yang masih primitif penjaga emas papua
- Suku Amungme
Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi bentrok antara pendatang baru dan suku lokal yang mendiami wilayah itu.
Kebanyakan suku sekitar daerah tambang emas itu sering menggunakan logam merkuri dalam pemisahan emas sehingga harus dilakukan sosialisasi mengenai dampak negatif logam merkuri terhadap lingkungan dan pemukiman penduduk disana.
Sejarah Tembagapura dan Freeport
Dikutip dari Wikipedia:
Awal mula PT Freeport Indonesia berdiri, sesungguhnya terdapat kisah perjalanan yang unik untuk diketahui.
Pada tahun 1904-1905 suatu lembaga swasta dari Belanda Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundig Genootschap (KNAG) yakni Lembaga Geografi Kerajaan Belanda, menyelenggarakan suatu ekspedisi ke Papua Barat Daya yang tujuan utamanya adalah mengunjungi Pegunungan Salju yang konon kabarnya ada di Tanah Papua.
Catatan pertama tentang pegunungan salju ini adalah dari Kapten Johan Carstensz yang dalam perjalanan dengan dua kapal yaitu kapal Aernhem dan kapal Pera ke arah selatan pada tahun 1623 di perairan sebelah selatan Tanah Papua.
Tiba-tiba jauh di pedalaman melihat kilauan salju dan mencatat di dalam buku hariannya pada tanggal 16 Februari 1623 tentang pegunungan yang teramat tingginya yang pada bagian-bagiannya tertutup oleh salju.
Catatan Carstensz ini menjadi cemoohan kawan-kawannya yang menganggap Carstensz hanya berkhayal.
Walaupun ekspedisi pertama KNAG tersebut tidak berhasil menemukan gunung es yang disebut-sebut dalam catatan harian Kapten Carstensz, inilah cikal bakal perhatian besar Belanda terhadap daerah Papua.
Peta wilayah Papua pertama kali dibuat dari hasil ekspedisi militer ke daerah ini pada tahun 1907 hingga 1915.
Ekspedisi-ekspedisi militer ini kemudian membangkitkan hasrat para ilmuwan sipil untuk mendaki dan mencapai pegunungan salju.
Beberapa ekspedisi Belanda yang terkenal dipimpin oleh Dr. HA.Lorentz dan Kapten A. Franzen Henderschee.
Semua dilakukan dengan sasaran untuk mencapai puncak Wilhelmina (Puncak Sudirman sekarang) pada ketinggian 4,750 meter.
Nama Lorentz belakangan diabadikan untuk nama Taman Nasional Lorentz di wilayah suku Asmat di pantai selatan.
Pada pertengahan tahun 1930, dua pemuda Belanda Colijn dan Dozy, keduanya adalah pegawai perusahaan minyak NNGPM yang merencanakan pelaksanaan cita-cita mereka untuk mencapai puncak Carstensz.
Petualangan mereka kemudian menjadi langkah pertama bagi pembukaan pertambangan di Tanah Papua empat puluh tahun kemudian.
Pada tahun 1936, Jean Jacques Dozy menemukan cadangan Ertsberg atau disebut gunung bijih, lalu data mengenai batuan ini dibawa ke Belanda.
Setelah sekian lama bertemulah seorang Jan Van Gruisen, Managing Director perusahaan Oost Maatschappij, yang mengeksploitasi batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara dengan kawan lamanya Forbes Wilson.
Seorang kepala eksplorasi pada perusahaan Freeport Sulphur Company yang operasi utamanya ketika itu adalah menambang belerang di bawah dasar laut.
Kemudian Van Gruisen berhasil meyakinkan Wilson untuk mendanai ekspedisi ke gunung bijih serta mengambil contoh bebatuan dan menganalisisnya serta melakukan penilaian.
Pada awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk segera melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembangunan ekonomi.
Namun dengan kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah pergantian kekuasaan, pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967).
Pimpinan tertinggi Freeport pada masa itu yang bernama Langbourne Williams melihat peluang untuk meneruskan proyek Ertsberg.
Dia bertemu Julius Tahija yang pada zaman Presiden Soekarno memimpin perusahaan Texaco dan dilanjutkan pertemuan dengan Jenderal Ibnu Sutowo.
Yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Perminyakan Indonesia. Inti dalam pertemuan tersebut adalah permohonan agar Freeport dapat meneruskan proyek Ertsberg.
Akhirnya dari hasil pertemuan demi pertemuan yang panjang Freeport mendapatkan izin dari pemerintah untuk meneruskan proyek tersebut pada tahun 1967. Itulah Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I).
Kontrak karya tersebut merupakan bahan promosi yang dibawa Julius Tahija untuk memperkenalkan Indonesia ke luar negeri dan misi pertamanya adalah mempromosikan Kebijakan Penanaman Modal Asing ke Australia.
Sebelum 1967 wilayah Timika adalah hutan belantara. Pada awal Freeport mulai beroperasi, banyak penduduk yang pada awalnya berpencar-pencar mulai masuk ke wilayah sekitar tambang Freeport sehingga pertumbuhan penduduk di Timika meningkat.
Tahun 1970 pemerintah dan Freeport secara bersama-sama membangun rumah-rumah penduduk yang layak di jalan Kamuki.
Kemudian dibangun juga perumahan penduduk di sekitar selatan Bandar Udara yang sekarang menjadi Kota Timika.
Pada tahun 1971 Freeport membangun Bandar Udara Timika dan pusat perbekalan, kemudian juga membangun jalan-jalan utama sebagai akses ke tambang dan juga jalan-jalan di daerah terpencil sebagai akses ke desa-desa Tahun 1972.
Presiden Soeharto menamakan kota yang dibangun secara bertahap oleh Freeport tersebut dengan nama Tembagapura.
Pada tahun 1973 Freeport menunjuk kepala perwakilannya untuk Indonesia sekaligus sebagai presiden direktur pertama Freeport Indonesia adalah Ali Budiardjo.
Beliau mempunyai latar belakang pernah menjabat Sekretaris Pertahanan dan Direktur Pembangunan Nasional pada tahun 1950-an.
Suami dari Miriam Budiardjo yang juga berperan dalam beberapa perundingan kemerdekaan Indonesia, sebagai sekretaris delegasi Perundingan Linggarjati dan anggota delegasi dalam perjanjian Renville.
Penertiban Pendulang Emas Liar
Dengan kejadian banyaknya tambang liar yang dilakukan oleh penduduk sekitar dibantu oleh pendatang membuat masyarakat disana beralih menjadi penambang emas tradisional.
Namun perusahaan Freeport tidak mengizinkan untuk melakukan eksplorasi lokal di daerah Mil 72-74 sehingga penertiban yang dilakukan oleh PT. Freeport mengalami kebuntuan dimana banyak penambang lokal yang tidak mau ditertibkan dan melakukan pemanahan pada petugas Freeport.
Sehingga penembakan yang dilakukan oleh aparat PT. Freeport itu sebagai perlawanan terhadap penambang liar yang tidak mau dilakukan penertiban.
Daerah di Mil 72-74 tidak boleh dilakukan penambangan liar karena masuk dalam daerah kelola PT. Freeport.
Lokasi Lain Tambang Emas Rakyat
Selain di sungai Aghawagon, terdapat daerah penghasil emas yang banyak mengendap di eluvial dan aluvial sungai Ajkwa dimana daerah tersebut dikuasai oleh suku lokal di daerah Waa dan Banti, tepatnya di distrik Tembagapura, Papua.
Lokasi percabangan sungai Ajkwa yang tinggi mengandung tailing dari limbah PT. Freeport Indonesia sampai ke daerah hilir banyak mengendap berjuta-juta material yang kaya dengan logam emas.
Ternyata tailing yang sebelumnya tidak ada harganya, sangat tinggi dalam mengandung bijih emas, penduduk lokal dan pendatang yang berpetualang mencari emas di lokasi itu sering melakukan pendulangan tailing untuk mendapatkan hasil emas yang luar biasa besarnya.
Perolehan Emas
Penduduk lokal rata-rata mendapatkan 20-35 gram per hari tapi terkadang bisa lebih atau bisa kurang dari hasil penambangan itu dan tergantung hoki.
Kegiatan penambangan emas itu sudah dilakukan sejak tahun 2003 dimana mereka mencari emas dari proses tailing yang dibuang oleh limbah ke sungai oleh PT. Freeport Indonesia.
Pasir dan lumpur bekas tailing memberikan hasil yang sangat memuaskan dimana mereka menjual emas ke pedagang emas di kota Timika, Papua.
Sungai memberikan harapan yang sangat besar dari usaha penambangan emas tradisional, namun penduduk lokal seharusnya diberikan wawasan mengenai bahaya penggunaan logam merkuri karena merupakan logam yang mudah menguap dan larut dalam aliran air sungai.
Merkuri sangat berbahaya dan tergolong logam berat yang bersifat racun jika masuk ke dalam pencernaan manusia maupun hewan.
Selain dari limbah tailing penduduk lokal menggunakan cara pendulangan dengan menghancurkan di dinding sungai dengan alat penyemprot air sehingga dari hasil material yang runtuh dari dinding sungai diproses dengan cara pendulangan manual dan memberikan hasil yang sangat memuaskaan
Kegiatan ekonomi tersebut membuat pendatang baru memilih bekerjasama dengan mereka dan melakukan izin lokasi agar tidak terjadi keributan
DONASI LEWAT PAYPAL
Mohon bantu berikan donasi apabila artikel ini memberikan manfaat. Terimakasih.